Membuat Infrastruktur, Perangkat, Layanan TIK Mudah Diakses dan Terjangkau di Pedesaan

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memiliki efek positif yang nyata terhadap pertumbuhan pendapatan di negara-negara berkembang dan negara maju (Röller dan Waverman 2001; Waverman, Meschi, dan Fuss 2005). Di daerah pedesaan, TIK dapat meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan produktivitas pertanian (Lio dan Liu 2006) dan memperkenalkan saluran pendapatan selain bertani tradisional.

Bukti yang terbatas saat ini dari petani individu dan nelayan di India mendukung kesimpulan bahwa TIK meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup di kalangan masyarakat miskin (Goyal 2010; Jensen 2007). Ide tentang akses dan penggunaan TIK yang lebih luas di seluruh negara akan mengurangi kesenjangan pendapatan dan kualitas hidup masyarakat pedesaan dan perkotaan.

Terlepas dari kelangkaan bukti untuk mendukung gagasan ini (Forestier, Grace, dan Kenny 2002), tetap hal ini mendasari inisiatif kebijakan yang luas untuk memastikan akses yang adil terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi di semua wilayah.

Menciptakan layanan Teknologi Informasi dan Komunikasi yang terjangkau di daerah pedesaan merupakan tantangan yang kompleks. Di wilayah-wilayah ini, infrastruktur telekomunikasi “paling ujung” disediakan dengan biaya sangat tinggi yang mungkin biaya ini tidak dapat tertutup oleh kuantitas penggunaan dan manfaat yang dihasilkannya. Akses TIK yang terjangkau di pedesaan adalah hambatan utama dalam rantai penyediaan layanan baik pada pasokan dan juga permintaannya.

Untuk memasok TIK dan layanan terkait di daerah pedesaan, tantangan utamanya adalah tingginya tingkat modal dan biaya operasional yang dikeluarkan oleh penyedia layanan. Di sisi permintaan, adopsi Teknologi Informasi dan Komunikasi pedesaan di negara-negara berkembang dibatasi oleh rendahnya ketersediaan layanan publik pendukung, seperti listrik dan pendidikan, dan relatif langkanya konten yang relevan secara lokal.

Memahami implikasi kesetaraan akses terhadap TIK, pemerintah menerapkan kebijakan peraturan untuk memungkinkan peluncuran infrastruktur TIK dan penyediaan layanan di daerah pedesaan, dan untuk menghadapi permintaan yang rendah di pedesaan pemerintah memperkenalkan konten yang relevan secara lokal dalam bentuk e-government dan layanan e-agriculture.

Tugas kebijakan regulasi adalah mengimbangi perkembangan teknologi sambil tetap mempertahankan kebijakan perizinan yang diarahkan pada keadilan; dengan kata lain, untuk mengurangi ketidaksetaraan di dalam negeri sambil mempertahankan alasan bisnis yang baik di sektor telekomunikasi.

Modul ini menjelaskan apa yang dimaksud Teknologi Informasi dan Komunikasi yang “mudah diakses” dan “terjangkau” dan membahas strategi kebijakan umum yang mempengaruhi akses pedesaan terhadap TIK.

Catatan Topik 2.1 menyajikan tinjauan secara teknis terhadap infrastruktur, jaringan, perangkat, dan layanan untuk menyediakan TIK yang terjangkau di daerah pedesaan.

Catatan Topik 2.2 membahas peran inovasi sektor publik dalam mencapai akses universal terhadap infrastruktur dan peralatan. Sejumlah masalah akses pedesaan terbatas terhadap TIK dan akses pedesaan terhadap layanan keuangan.

Catatan Topik 2.3. Materi yang disajikan fokus pada model bisnis yang memungkinkan industri keuangan mikro bergerak tumbuh di daerah rural.

Catatan Topik 2.4 menjelaskan upaya membangun perluasan jaringan bergerak/mobile di daerah pedesaan untuk memberikan layanan mata pencaharian bernilai tambah kepada petani (terutama informasi untuk mengurangi kerugian bertani dan meningkatkan pendapatan).

“Akses” dalam Kaitannya dengan Konsep Kebijakan Telekomunikasi secara Luas: Akses Universal dan Layanan Universal

Dalam kebijakan telekomunikasi, “akses” dapat dipahami dalam kaitannya dengan dua konsep luas: layanan universal dan akses universal (Gasmi dan Virto 2005).

“Layanan Universal” (LU) adalah kebijakan yang terutama digunakan di negara maju. Berfokus pada peningkatan dan perluasan jaringan komunikasi sehingga “tingkat pelayanan minimum” dapat sampai ke rumah tangga individu, bahkan di wilayah yang paling tidak terjangkau sekalipun.

Tujuan LU pada umumnya dilakukan dengan menerapkan kewajiban layanan universal pada operator jaringan. “Layanan Universal (LU) menunjukkan saat individu atau rumah tangga memiliki layanan, menggunakannya secara pribadi, baik di rumah atau dibawa secara perorangan melalui perangkat nirkabel.

Untuk beberapa jenis layanan, tujuan LU dianggap terlalu ambisius di negara berkembang, karena layanan tersebut harus terjangkau (murah) dan tersedia. Sasaran dapat terkait dengan proporsi populasi yang mampu membayar layanan pribadi (yaitu, target penetrasi pelanggan)” (Dymond et al., 2010).

“Akses universal” (AU) adalah kebijakan telekomunikasi yang lebih khas untuk negara-negara berkembang, berusaha memperluas akses geografis terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi penduduk secara luas, dan seringkali untuk pertama kalinya.

Kewajiban AU adalah menyediakan “cakupan minimum”, terutama komunitas terpencil, sehingga memungkinkan semua warga negara untuk “menggunakan layanan ini, terlepas dari lokasi, jenis kelamin, cacat, dan karakteristik pribadi lainnya” (Dymond et al., 2010).

“Akses universal menunjukkan kapan setiap orang dapat mengakses layanan ini di suatu tempat, di tempat umum, yang juga disebut akses publik, komunitas atau akses bersama… Secara umum setidaknya ada satu titik akses per wilayah dengan ukuran populasi tertentu “(Dymond et al., 2010).

Tabel berikut menampilkan garis besar karakteristik akses universal dan layanan universal dalam hal ketersediaan, aksesibilitas, dan keterjangkauannya.

Tabel Karakteristik Akses Universal dan Layanan Universal
Karakteristik Akses Universal dan Layanan Universal

Dalam merancang intervensi kebijakan untuk mempromosikan akses yang adil terhadap TIK, teknologi dan penggunanya harus dianggap sebagai kesatuan sistem sosio-teknis yang memungkinkan akses Teknologi Informasi dan Komunikasi yang lebih baik, diterjemahkan sebagai mata pencaharian pedesaan yang lebih baik dan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat pedesaan.

Banyak penulis telah meneliti akses terhadap TIK secara holistik, dengan tujuan untuk memahami aspek yang berbeda tentang bagaimana akses diaktifkan atau terhambat, termasuk aspek teknologi, sosioekonomi, dan budaya. Misalnya, Benkler (2006) berfokus pada aspek teknologi dan mengusulkan model akses yang terdiri dari lapisan konten, lapisan layanan, lapisan jaringan (transportasi fisik dan transmisi logis), dan lapisan perangkat (sistem operasi perangkat (OS)) dan mesin fisik).

Modul ini menggunakan Access Rainbow Framework (Clement dan Shade 2000), untuk memahami akses terhadap TIK. Access Rainbow Framework menunjukkan sifat akses Teknologi Informasi dan Komunikasi yang beragam dan menangkap arsitektur sosio-teknis yang berperan penting.

Kerangka kerja ini melampaui pemahaman mekanis akses TIK dengan memasukkan enabler TIK seperti konten lokal yang relevan, literasi TIK, penggunaan TIK proksimal (penggunaan TIK dengan perantara pengguna terampil di komunitas pedesaan), dan mekanisme sosial untuk mengatur penggunaan TIK.

Akses Terhadap Infrastruktur, Perangkat, Layanan dan Access Rainbow Framework
Akses Terhadap Infrastruktur, Perangkat, Layanan dan Access Rainbow Framework

Access Rainbow menyediakan framework untuk membahas akses ke infrastruktur, peralatan, dan layanan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Lapisan “carriage facilities” adalah lapisan teknologi fisik yang terdiri dari kapasitas jaringan terpasang, konektivitas jaringan, dan standar interoperabilitas. Dalam modul ini, lapisan ini ditafsirkan sebagai akses terhadap infrastruktur TIK.

Akses ke peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi ditangkap oleh lapisan fisik perangkat keras TIK (Devices) dan lapisan logis dari perangkat lunak (Software tools). Dengan dua sifat (perangkat keras dan perangkat lunak), akses ke peralatan TIK menghubungkan pasokan infrastruktur TIK dengan penyediaan layanan yang ditargetkan pada pengguna akhir.

Akses terhadap layanan TIK adalah konsep yang lebih abstrak (amorph), terdiri dari: (1) ketersediaan konten (sumber daya) yang siap, memenuhi peran pengguna sebagai warga negara, produsen, dan konsumen; (2) ketersediaan (bagi pengguna awam) akses jaringan dan layanan pendukung yang sesuai melalui vendor komersial; (3) tersedianya fasilitas pembelajaran formal dan informal untuk pengembangan literasi jaringan; dan (4) ketersediaan saluran yang memungkinkan pengguna dapat berpartisipasi dalam keputusan mengenai layanan telekomunikasi, inklusivitas sosial mereka, dan akuntabilitas publik.

Dalam mempertimbangkan intervensi untuk memperbaiki akses terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi, praktisi harus mempertimbangkan kompleksitas akses terhadap infrastruktur, peralatan, dan layanan TIK. Penting untuk menemukan lapisan akses di mana intervensi diterapkan dan untuk menilai bagaimana kaitannya dengan aspek akses yang lainnya.

Bagi pembuat kebijakan publik, pemahaman menyeluruh tentang proses yang menentukan akses TIK paling baik dilakukan dalam kerangka holistik, namun pembuat kebijakan mungkin juga sebaiknya mengukur tingkat akses Teknologi Informasi dan Komunikasi di dalam negeri dan membuat perbandingan antar negara.

Untuk mengukur kesenjangan digital antar negara dan menilai potensi pengembangan TIK, International Telecommunication Union (ITU) memperkenalkan ICT Development Index (IDI) sebagai indikator tingkat perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi di negara tersebut. IDI mengukur akses dengan mempertimbangkan kesiapan TIK dan lima indikator tambahan: telepon tetap, telepon genggam, bandwidth internet internasional, rumah tangga dengan komputer, dan rumah tangga dengan Internet (ITU 2010).

Chart akses terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi negara maju dan berkembang berdasarkan tingkat pengembangan ICT Development Index (IDI)
Akses terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi Berdasarkan Tingkat Pengembangan IDI

Gambar di atas menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir (2002-08) negara-negara berkembang telah menunjukkan akses yang jauh lebih besar daripada negara maju, terutama karena pertumbuhan eksplosif telekomunikasi bergerak di negara-negara berkembang.

“Keterjangkauan” sebagai Fungsi Penetapan Harga dan Model Bisnis

Layanan universal disebut terjangkau pada saat “biaya penggunaan bulanan rata-rata hanya persentase kecil dari pendapatan nasional bruto bulanan (GNI) per kapita” (Dymond et al., 2010). Sebagai sebuah konsep, keterjangkauan lebih mudah diukur daripada akses.

Sebagai ukuran keterjangkauan, ITU menggunakan keranjang harga TIK, yang mencakup indikator harga untuk telepon tetap, telepon seluler, dan layanan broadband tetap (ITU 2010). Sub-keranjang telepon tetap adalah biaya dasar bulanan rata-rata layanan telepon tetap lokal. Sub-keranjang mobile/seluler merupakan penggunaan mobile bulanan rendah, yaitu 25 panggilan keluar per bulan (on-net, off-net, dan ke fixed line, dan untuk periode peak, off-peak, dan akhir pekan) ditambah 30 pesan SMS. Sub-keranjang broadband tetap mewakili tawaran bulanan tipikal berdasarkan koneksi 256 kilo bit dan minimal 1 gigabyte data.

Gambar di bawah secara jelas menunjukkan bahwa broadband fixed-line adalah satu-satunya layanan mahal dan tidak terjangkau di negara-negara berkembang pada tahun 2009. Dengan menggunakan alat penilaian keterjangkauan ini, sangat penting untuk menentukan apakah isi keranjang harga relevan dengan masalah akses yang ada (misalnya, pertanyaan pada Catatan Topik 2.1 yaitu; apakah dalam beberapa konteks keterjangkauan infrastruktur broadband fixed-line patut diperhatikan).

Sub-Keranjang Harga Teknologi Informasi dan Komunikasi Berdasarkan Tingkat Pengembangan
Sub-Keranjang Harga TIK Berdasarkan Tingkat Pengembangan

Access Rainbow Framework (diperkenalkan di bagian “Konsep Akses” sebelumnya) berguna untuk memahami masalah keterjangkauan dan keberlanjutan, sebagai sistem berlapis yang saling terkait dalam mengembangkan teknologi, bisnis, dan kebijakan. Misalnya, lapisan TIK yang membawa penawaran nilai paling tinggi bagi pengguna akhir adalah lapisan konten/layanan (Lapisan nomer 4 – Content/Services).

Kerangka ini memungkinkan untuk mempertimbangkan kelayakan finansial semua lapisan kontinjensi (kapasitas jaringan, ketersediaan peralatan, dukungan pelanggan, dan sebagainya) dan bagaimana mereka dapat mempengaruhi nilai lapisan konten/layanan.

Dari sudut pandang peraturan, pendekatan Rainbow menangkap pentingnya pemisahan antara lapisan, yang paling menonjol adalah pemisahan antara lapisan carriage dan lapisan konten. Memfokuskan upaya regulasi dalam berbagai lapisan dan memungkinkan persaingan di dalam dan di antara lapisan sangat penting untuk mencapai layanan pengguna akhir yang berkualitas dengan harga terjangkau.

Dari perspektif kebijakan dan peraturan, struktur berlapis menggambarkan tendensi kebijakan untuk memungkinkan persaingan antar teknologi sehingga memberikan fungsi yang sebanding dengan mengikuti prinsip persaingan, netralitas teknologi, dan fleksibilitas perizinan.

Memastikan persaingan di masing-masing lapisan merupakan prioritas kebijakan yang sudah berjalan lama, terutama bila skala ekonominya kondusif bagi struktur pasar monopolistik. Gateway internet internasional dan jaringan loop-lokal atau “last mile” adalah contohnya. Jaringan loop-lokal adalah jaringan tetap yang memberikan konektivitas dari local exchange ke pengguna akhir. Karena tingginya biaya masuk dalam pengembangan jaringan ini, segmen ini kondusif bagi struktur pasar monopoli.

Liberalisasi pasar dan kebebasan masuk memberi insentif kepada incumbent untuk mengejar kualitas layanan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, mulai tahun 1992 Thailand berusaha memecah monopoli Communication Authority of Thailand atas layanan gateway internasional dengan memperkenalkan konsesi kepada perusahaan swasta berdasarkan perjanjian di bawah perjanjian build-transfer-operate.

Masuknya sektor swasta di samping perusahaan milik negara, seperti Telephone Organization of Thailand, menyebabkan perluasan langganan yang luar biasa untuk layanan tetap dan bergerak. Namun tingkat dan derajat persaingan di lini telepon tetap dan sub-sektor seluler sangat bervariasi karena jumlah konsesi serta syarat dan ketentuannya (Nikomborirak dan Cheevasittiyanon 2008).

Persaingan di pasar bergerak menghasilkan peningkatan konektivitas dan keterjangkauan, sementara sub-sektor fixed-line mengalami stagnasi.

Pelajarannya adalah bahwa manfaat kesejahteraan dari liberalisasi pasar dicapai dengan menerapkan kebijakan pelengkap mengenai persaingan yang memungkinkan penetapan harga pasar, dan membatasi harga predator oleh para pemain lama yang menghadapi pendatang baru di seluruh lapisan struktural sektor TIK.

Di Thailand, konsesi fixed-line dibatasi oleh tarif fixed-call yang ditetapkan dan batas atas jumlah pelanggan, hal ini menghambat kelangsungan hidup peluncuran fixed-line oleh pemegang konsesi swasta.

Selain persaingan, netralitas teknologi adalah prinsip kebijakan dan undang-undang utama berikutnya untuk memastikan keterjangkauan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Netralitas teknologi adalah prinsip menahan diri untuk tidak menentukan persyaratan teknologi dalam lisensi telekomunikasi.

Secara historis, menentukan persyaratan teknologi adalah alat untuk merangsang manufaktur peralatan dalam negeri, namun netralitas teknologi dianjurkan dalam industri TI yang berkembang pesat saat ini, karena keputusan regulasi mengenai pemilihan teknologi dapat berisiko (Kotak 1 menyajikan contoh dari Korea).

Kotak 1: Resiko Memilih Kampiun dalam Industri TI yang Berkembang dengan Cepat

Di Korea, perizinan teknologi baru bisa dibilang menyebabkan pertumbuhan pasar bagi produsen peralatan rumah tangga seperti Samsung dan LG, namun strategi ini mungkin terbukti lebih berisiko di ranah TI.
Dukungan pemerintah untuk WiBro, versi WiMAX mobile versi Korea (sebuah protokol telekomunikasi yang menyediakan akses Internet tetap dan bergerak), dipandang sebagai keputusan yang salah.
Pada akhir tahun 2008, WiBro hanya menarik 170.000 pelanggan untuk Korea Telecom dan SK Telecom digabungkan, sangat kecil dari yang diharapkan pemerintah 1,4 juta pelanggan.
Di pasar Korea, layanan mobile broadband LTEa muncul sebagai alternatif yang lebih layak untuk WiBro, dan Korea Telecom serta SK Telecom mengumumkan rencana untuk meluncurkan layanan LTE komersial dengan mengorbankan layanan WiBro yang tidak berkembang.

Sumber: berdasarkan Kim 2009a, 2009b. (a) Long Term Evolution (LTE) adalah standar komunikasi bergerak awal yang secara formal diajukan sebagai kandidat sistem 4G ke ITU-T pada akhir tahun 2009. Komitmen LTE di antara operator jaringan seluler telah berkembang dengan mantap.

Karena tidak ada standar teknologi khusus yang ditetapkan, netralitas teknologi memperluas cakupan kompetisi di dalam setiap lapisan Access Rainbow. Operator yang bersaing memilih standar teknologi yang memungkinkan mereka mengantarkan layanan dengan biaya efektif. Kebijakan regulasi yang beralih ke netralitas teknologi didukung oleh perkembangan teknologi yang mengarah pada peningkatan standar interoperabilitas (lihat Rossotto et al., 2010).

Instrumen kebijakan utama untuk menjamin persaingan pasar dan netralitas teknologi adalah kebijakan perizinan yang fleksibel dan izin spektrum yang juga fleksibel. Lisensi yang ketat bisa menjadi kontra produktif jika membatasi layanan yang dapat diberikan atau teknologi yang digunakan untuk menyediakan layanan (misalnya, lisensi WiMAX dikeluarkan untuk membatasi penyediaan layanan fixed broadband, dengan mengesampingkan mobile broadband).

Selain membatasi kemungkinan teknologi, lisensi dan izin spektrum yang dibatasi juga dapat mengurangi insentif penawaran dalam lelang spektrum. Fleksibilitas teknologi dapat dicapai di masing-masing lapisan sistem Teknologi Informasi dan Komunikasi yang saling terkait melalui lisensi terpadu dan disederhanakan (Rossotto et al., 2010). Kotak 2 menggambarkan pengalaman Singapura dengan lisensi operasi berbasis fasilitas dan berbasis layanan.

Kotak 2: Lisensi yang Disederhanakan di Singapura Mendorong Infrastruktur TIK yang Inovatif dan Efektif Biaya

Dengan memastikan bahwa instalasi dan pengoperasian infrastruktur jaringan di Singapura dicakup oleh lisensi, Infocomm Development Authority of Singapore memastikan pengembangan infrastruktur inovatif dan efektif biaya. Lisensi yang disederhanakan dikeluarkan untuk operator jaringan telekomunikasi berbasis fasilitas (FBO) dan operator berbasis layanan (SBO).

FBO mencakup perusahaan yang menerapkan kabel bawah laut untuk memperbaiki infrastruktur konektivitas internasional, perusahaan yang menggelar kabel serat optik untuk meningkatkan konektivitas dalam negeri, dan perusahaan yang membangun jaringan Internet Protocol (IP) broadband atau inframerah.
Jaringan nirkabel yang menuntut sumber daya spektrum yang terbatas dilisensikan secara terpisah dan tunduk pada pemilihan secara komparatif atau lelang. Operasi FBO efektif tetap berada di dalam lapisan carriage, namun FBO memiliki fleksibilitas untuk menerapkan dan/atau mengoperasikan segala bentuk jaringan telekomunikasi, sistem, dan/atau fasilitas secara teknologi-netral.

SBO tetap berada dalam lapisan penyediaan layanan/akses, namun mereka memiliki fleksibilitas penuh untuk memilih teknologinya. Setiap lisensi SBO diperuntukkan bagi perusahaan yang berencana menyewakan kapasitas konektivitas internasional yang dipasang oleh FBO.
Setiap lisensi SBO mencakup layanan seperti penjualan kembali secara internasional yang mudah, layanan akses Internet publik, dan layanan nilai tambah store-and-forward. Lisensi kelas SBO mencakup layanan jaringan store-and-forward bernilai tambah, telepon berbasis Internet, penjualan kembali layanan telekomunikasi public switched, dan layanan lainnya.

Sumber: Halewood 2010.

Tantangan Kunci Dan Enabler

Tantangan dan enabler yang terkait dengan membuat TIK lebih luas dan terjangkau bagi masyarakat pedesaan di negara-negara berkembang dibahas pada bagian selanjutnya. Perhatian khusus diberikan pada jenis kemitraan, regulasi dan kebijakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Kemitraan

Mengingat sifat multi-layer untuk memastikan akses pedesaan yang terjangkau terhadap infrastruktur, perangkat, dan layanan, kemitraan antara organisasi dengan spesialisasi, kapasitas, dan motif keuntungan yang berbeda tampaknya merupakan cara utama untuk memperbaiki akses dan keterjangkauan.

Kemitraan yang berfungsi sebagai mekanisme penting untuk memperbaiki akses TIK pedesaan dapat berbentuk kemitraan di sektor publik, menegosiasikan kemitraan publik-swasta, kesepakatan antara pemangku kepentingan di sektor telekomunikasi, atau kesepahaman informal antara penyedia layanan dan pemangku kepentingan di tingkat masyarakat.

Mengaktifkan kemitraan semacam itu dan mempertahankannya, tetap merupakan peran utama pemerintah. Misalnya, sektor publik memainkan peran cukup besar dalam kemitraan kolaboratif M-PESA (lihat RPI “M-PESA Merintis Layanan Transfer Uang” pada Catatan Topik 2.3). Peran ini melibatkan kolaborasi dukungan finansial antara operator jaringan bergerak (MNO: Mobile Network Operator) selama pengembangan perangkat lunak.

Di Bhutan, kemitraan antar departemen di dalam pemerintahan sangat berperan dalam peluncuran pusat informasi masyarakat di daerah terpencil (lihat RPI “Pusat Informasi Masyarakat: Bhutan,” pada Catatan Topik 2.2).

Ada banyak motif untuk membentuk kemitraan yang memperbaiki akses pedesaan terhadap infrastruktur dan layanan. Misalnya, dalam pengaturan pembagian infrastruktur yang dibahas dalam Catatan Topik 2.2, kesepakatan eksplisit disahkan untuk berbagi biaya infrastruktur pasif dan menerapkan teknologi 3G.

Kesepakatan antara mitra komersial dan nirlaba juga membuat kasus yang menarik untuk pentingnya kemitraan dalam melaksanakan proyek guna memberikan akses pedesaan yang lebih baik kepada TIK. Misalnya, layanan Farmer’s Friend hanya dapat dilakukan melalui kolaborasi yang menggabungkan pemahaman Grameen Foundation tentang sektor nirlaba, keahlian teknologi Google, jangkauan jaringan MTN, dan pengetahuan pertanian lokal dari Busoga Rural Open Source Development Initiative.

Tantangan Regulasi dan Kebijakan

Meskipun evolusi TIK di negara-negara berkembang masih jauh dari harapan, namun telah bergerak maju secara signifikan dalam dekade terakhir. Perluasan jaringan telepon seluler yang cepat dan serapan pasar teknologi Global System for Mobile Communication (GSM) – standar GSM untuk jaringan selular 2G melayani sekitar 80 persen pasar ponsel global, menurut asosiasi GSM (https://www.gsma.com/) – setelah liberalisasi dan deregulasi adalah contoh evolusi yang paling sering dikutip.

Regulasi yang terarah dan efektif diperlukan untuk menciptakan ekosistem yang mendukung yang akan memaksimalkan kemampuan pengusaha untuk memperluas penawaran pasar dan meminimalkan dampak negatif persaingan terhadap konsumen.

Hambatan seperti monopoli operator, rezim perizinan yang berlebihan dalam beberapa konteks (misalnya, memerlukan jaringan komunitas lokal untuk memiliki lisensi) dapat berdampak negatif terhadap potensi bisnis. Di sisi lain, lingkungan fiskal dan keuangan yang mendukung dan akses pengusaha terhadap layanan keuangan dapat memungkinkan dan meningkatkan jumlah layanan yang berorientasi sosial.

Permasalahan regulasi yang signifikan di sektor telekomunikasi meliputi kebijakan perpajakan, perizinan, liberalisasi, dan persaingan. Pajak atas layanan komunikasi sangat mempengaruhi keterjangkauan TIK di Afrika misalnya, mengingat pendapatan rata-rata yang rendah. Bea masuk pada peralatan IT, pajak pertambahan nilai (PPN) (berkisar antara 5 sampai 23 persen) untuk barang dan jasa, dan pajak cukai pada layanan komunikasi semua menaikkan harga, mengecilkan hati pengguna.

Perizinan yang berlebihan juga bisa menahan distribusi berbagai layanan Teknologi Informasi dan Komunikasi berbasis konten. Regulasi penyiaran harus disinkronkan dengan regulasi transmisi data murni (UNCTAD 2010). Dalam hal persaingan, kebijakan yang mendorong pengelolaan pasar yang kompetitif, kondisi interkoneksi yang efektif, dan tingkat berhentinya langganan mobile dapat memberikan insentif untuk berinvestasi dalam kualitas layanan, diferensiasi, dan inovasi.

Dengan meningkatnya adopsi TIK dan meningkatnya keunggulan layanan berbasis TIK dalam kehidupan konsumen di negara-negara berkembang, perlu ditekankan pentingnya peraturan perlindungan konsumen untuk memastikan tata kelola akses TIK multi-layer secara efektif.

Masalah yang sering berulang kali terjadi termasuk kesenjangan antara kecepatan akses broadband yang diiklankan dan yang dialami pelanggan, kurangnya transparansi dalam penetapan harga layanan suara dan data seluler, kurangnya portabilitas nomor ponsel yang efektif, dan harga SMS yang berlebihan.

Peraturan yang berfokus konsumen juga harus menyasar peningkatan keterbacaan (jelas siapa yang terlibat dalam transaksi dan komunikasi elektronik) dan kemudahan memahami transaksi, yang dimungkinkan melalui akses TIK yang lebih baik. Perlindungan konsumen dapat mengejar tujuan tersebut melalui langkah-langkah untuk registrasi nomor ponsel, verifikasi identitas, kerahasiaan, dan privasi.

Terakhir, munculnya layanan keuangan yang diterapkan pada ponsel menjadi penting untuk menciptakan ekosistem yang mengintegrasikan peraturan keuangan dan peraturan telekomunikasi. Layanan ini dibahas secara lebih rinci dalam Catatan Topik 2.3.

Referensi Dan Bacaan Lebih Lanjut

  • Benkler, Y. 2006. The Wealth of Networks: How Social Production Transforms Markets and Freedom. New Haven: Yale University Press.
  • Clement, A., and L. R. Shade. 2000. “The Access Rainbow: Conceptualizing Universal Access to the Information/Communication Infrastructure.” In Community Informatics: Enabling Communities with Information and Communications Technologies, edited by M. Gurstein. Hershey, PA: Idea Group Publishing. Pp. 32–51.
  • Dymond, A., S. Oestmann, K. Whiting, C. Smithers, C. Milne, and R. Milne. 2010. “Module 4: Universal Access and Service.” In ICT Regulation Toolkit. InfoDev, http://www.ictregulationtoolkit.org/en/Sections.html, accessed July 2011.
  • Forestier, E., J. Grace, and C. Kenny. 2002. “Can Information and Communication Technologies Be Pro-Poor?” Telecommunications Policy 26(11):623–46.
  • Gasmi, F., and L. Recuero Virto. 2005. “Telecommunications Technologies Deployment in Developing Countries: Role of Markets and Institutions.” Communications and Strategies 58:19.
  • Goyal, A. 2010. “Information, Direct Access to Farmers, and Rural Market Performance in Central India.” American Economic Journal: Applied Economics 2(3):22–45.
  • ITU (International Telecommunication Union). 2010. Measuring the Information Society. Geneva.
  • Jensen, R. 2007. “The Digital Provide: Information (Technology), Market Performance, and Welfare in the South Indian Fisheries Sector.” Quarterly Journal of Economics 122(3):879–924.
  • Kim, T-H. 2009a. “Korea Facing More Pressure to Give Up WiBro.” The Korea Times, July 12, https://www.koreatimes.co.kr/www/news/biz/2011/02/123_48344.html, accessed July 2011.
  • ———. 2009b. “KCC Chief Ambivalent About WiBro.” The Korea Times, July 15, https://www.koreatimes.co.kr/www/news/biz/2009/07/123_48534.html., accessed July 2011.
  • Lio, M., and Meng-Chun Liu. 2006. “ICT and Agricultural Productivity: Evidence from Cross-country Data.” Agricultural Economics 34(3):221–28.
  • Nikomborirak, D., and S. Cheevasittiyanon. 2008. “Telecom Regulatory and Policy Environment in Thailand: Results and Analysis of the 2008 TRE Survey.” SSRN eLibrary. https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1555591, accessed July 2011.
  • Röller, L.-H., and L. Waverman. 2001. “Telecommunications Infrastructure and Economic Development: A Simultaneous Approach.” The American Economic Review 91(4):909–23.
  • Rossotto, C. M., T. Kelly, N. Halewood, and Victor Mulas (eds.). 2010. Strategic Options for Broadband Development. Global Information and Communication Technology (GICT), Ministry of Communication and Information Technology (MoCT), Arab Republic of Egypt, National Telecommunications Regulatory Authority (NTRA). Pp. 121–47. Washington, DC. Processed.
  • UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development). 2010. “Financing Mechanisms for Information and Communication Technologies for Development.” UNCTAD Current Studies on Science, Technology and Innovation. Geneva.
  • Waverman, L., M. Meschi, and M. Fuss. 2005. “The Impact of Telecoms on Economic Growth in Developing Countries.” Vodaphone Policy Paper Series 2:10–24.